Jalan Sutra

Selasa, 05 Juni 2012

Latar Belakang Upacara

Menurut legenda rakyat setempatdiceritakan, tersebutlah seorang pertapa sakti bernama Ki Ageng Kotesan, tinggal di desa Sinandu, Salaman Bagelan Purworejo, mempunyai seorang putra bernama Ki Cakrajaya. Cakrajaya dalah seorang anak yang mempunyai kemauan keras, berpendirian tetap, suka menyandiri dan berpuasa. Sesuai dengan namanya Cakra yaitu bulat dan Jaya yaitu berani. Jadi Cakrajaya mempunyai makna berani menempih hal-hal yang merintangi cita-citanya sehingga akhirnya bisa tercapai segala apa yang diinginkan.
Sudah menjadi takdir bahwa orang yang ingin tercapai cita-citanyabiasanya sering didahului dengan penderitaan. Itu terjadi pada Cakrajaya, masa kecilnyua suka berpuasa, setelah dewasa dan beristri kemudian hidup disuatu daerah yang bermata pencaharian ‘deres’ (menyadap pohon enau), yanng tumbuh disalah satu pegunungan serta jauh dari tempat tinggalnya setiap hari sebelum mataharti terbit, Cakrajaya berangkat dengan membawa bumbung  (potongan bambu yang salah satu ujungnya tertutup) yang disangkutkan pada ikat pinggang bagian belakang menuju ke tempat kerjanya yaitu pegunungan sumberan.
Menyedap enau adalah suatu pekerjaan yang menggunakan kesabaran karena hasilnya tidak begitucepat dan bisa didapat, tetapi harus melalui tetes demi tetes. Sehingga dalam satu hari Cakrajaya hanya bisa mendapatkan legen satu bumbung saja. Hasil sadapan enau itu kemudian dibawa pulang dan diserahkan kepada istrinya untuk dibuat gula aren. Pembuatan gulapun tidak dilakukan setiap hari, kadang-kadang tiga hari sekali, hal itu tergantung adri hasil sedapan enaunya. Sebab pohon enau yang disadap hanya satu batang, sehingga paling tidak tiga hari sekali Nyi Cakrajaya pergi kepasar untuk menjual gula arennya. Meskipun keadaan hidup Ki Cakrajaya sekeluarga sangan menderita tetapi mereka tidak pernah mengeluh, karena mereka mempunyai pedoman tidak perlu mengaluh diwaktu menderita dan tidak perlu menunjukkan kegemberiaan diwaktu menerima kebahagiaan. Cakrajaya menanamkan filsafat hidup pada keluarganya, bahwa hidup bahagia terdapat pada isi hati diri pribadi.
Pada suatu hari, pagi-pagi setelah bangun tidur, Cakrajaya duduk merenung sebab ia meraskan denyut jantung nya berdebar-debar, ada suatu perasaan aneh didalam hatinya, sehingga sampai siang hari Cakrajaya belum berangkat bekarja. Melihat keadaan itu timbul pertanyaan pada diri istrinya, namun setelah bertanya hanya dijawab tidak ada apa-apa, dam kemudian Cakrajaya berangkat. Sesampainya disumberan ia langsung naik keatas pohon enau untuk mengambil bumbung dan menggantikan dengan bumbung yang kosong. Pada saat mengambil bumbung itu isi bumbung begitu banyak tidak seperti biasanya. Kejidian ini belum pernah ia alami, ia mengira ini yang membuat ia berdebar-debar. Sebelum ia turun membawa sedapan enaunya terdengar suara dari bawah, yang menanyakan apa kerja Ki Cakrajaya hanya naik turun pohon enau?. Sambil turun, pertayaan dijawabnya apakah Ki sanak akan membeli gula aren? Sesrorang yang ternyata Sunan Kalijaga ii tidak menjawab dan kemudaian menggandeng tangan Cakrajaya untuk pulang. Didalam perjlanan yangdibahas adalah tentang jatining urip dan urip sejati (hakekat hidup). Sesampainya dirumah pembicaraan mereka masih dilanjutkan. Bahkan dibicarakan pula tentang apa makna dari makan sekali kenyang selamanya. Serta adanya sebuah pertanyaan apa isi bumbung yanghilang kedua ruasnya.
Pembicaraan itu membuat Cakrajaya bertanya-tanya sebanarnya siapa orang ini, sehingga ia bisa mangajarkan beberapa falsafah hidup.  Belum sampai terjawab pertanyaan hati, tiba-tiba Sunan Kalijaga  bangkit dari tempat duduknya dengan maksud akan meninggalkan tempat tinggal Ki Cakrajaya, sambil mengucap Ya Rockhman Rokhim-Mu. Ki Cakrajaya mendengar kata-kata itu menjadi terbuka hatinya  dan fikirannya jernih. Setelah mengucapkan  kata-kata itu Sunan Kali jaga lenyap dari pandangannya, sehingga membuat hati Cakrajaya keheranan dan tidak bisa berucap sepatah katapun. Bahkan kemudian ia melihat gula aren yang masih dalam cetakan berubah menjadi emas.  Melihat kenyataan ini kemudian Cakrajaya berkata pada istrinya yang pada waktu itu sedang mengandung empat bulan, bahwa mungkin itu sudah saatnya kita akan berpisah. Lihatlah gula dalam tangkeban itu telah menjadi emas. Gunakanlah emas itu untuk hidupmu, stelah berpesan kepada istrinya, ia pergi mengejar Sunan Kalijaga.
Pada suatu hari saat bulan purnama, perjalanan K I Cakrajaya sampai di suatu tempat. Di tempat itu tumbuh pohon beringin yang besar, ia ingin melepaskan lelah sambil tiduran dibawah pohon tersebut.  kebetulan didekat pohon itu terdapat pancuran air yang menge=luarkan suara gemercik. Sambil merebahkan badanya, dalam hati ia berkata Ya Robbi, Kyai Ageng ingkang emut, dika urip kula urip. Tiba-tiba terdengar suara dari balik pohon beringin itu, Ki Sanak- ki sanak dika urip kula urip. Ki Cakrajaya  kemudian menengok , dibalik pohon beringin itu, ia melihat Sunan Kalijaga sedang memutar-mutar tasbihnya. Cakrajaya kemudian mendekati temoat duduk Sunan Kalijaga sambil berkata bahwa ia akan menyerahkan jiwa raganya serta hidup matinya dan berniat menjadi muridnya yang sanggup mengikuti jejak perjalanannya.
Dengan tersenyum Sunan Kalijaga berkata, Cakrajaya saya ini hanya manusia biasa seperti kamu, jadi tidak benar kamu menyerahkan hidup mati dan jiwa ragamu kepadamu. Saya bukan yang gawe urip dan yang bukan gawe pati dan bukn tempat jiwa. Selanjutnya Sunan Kalijaga berkata Ki sanak kalau kamu betul-betul berniat, apa yang kamu ingini  secara lahir batin  yaitu mencari kesempurnaan hidup, ikuti dan kerjakan segala petunjukku ini. Sujudlah seluruh jia ragamu, lahir batin, dihadapan Tuhan Yang Maha Agung dan ini tongkat untukmu, jagalah baik-baik. Pada saatnya nanti kita akan bertemu di pegunungan Lowanu untuk melanjutkan pembicaraan tentang ilmu dan filsafat hidup.
Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun Sunan Kalijaga menyamar menjadi orang kebanyakan dan menggunakan nama Citra berkelana sambil mengamalkan ilmunya kepada penduduk yang didatangi. Pada saat sunan Kalijaga berada di daerah mataram, menetap agak lama sehingga sampai mempunyai dua abdi yang bernama Ki Semi dan Nyi Galuh. Saat Sunan kalijaga duduk di serambi padehpokannya, ia teringat akan janjinya pada Ki Cakrajaya biloa akan bertemu lagi di Pedukuhan Lowanu.
Pada waktu itu, setelah di pesan oleh Sunan Kalijaga dengan kemauan yang kuat, kepatuhan dan kedisiplinan, Cakrajaya Menuju Pedukuhan Lowanu. Ia ingin memperlihatkan dan menujukan ketaatan dan kesetiaanya serta Sampurnaning Lampah kepada sunan kalijaga. Sesampainya di pedukuhan Lowanu, dengan jalan duduk diatas batu dan bersila, memejamkan mata serta tongkat di tancapkan di depannya, mulailah ia bersemadi, sambil menunggu kedatangan  sunan kalijaga.
Ternyata Suna Kalijaga hampir lupa engan janjinya. Sudah bertahun-tahun lamanya baru teringat, bahwa ia mempunyai murid yang sedang menunggunya, kemudian Sunan Kalijaga mencari tempat dimana Cakrajaya berada. Karena lamanya mengakibatkan pedukuhan lowanu telah berubah menjadi hutan belantara sehingga menyulitkan Sunan Kalijaga dalam pencariannya. Ini membuktian bahwa perpisahan keduanya sangat lama. Untuk mempermudah dan mempercepat mencari Ki Cakrajaya, Sunan Kalijaga mengambil keputusan untuk membakar hutan. Setelah api padam, nampak Ki Cakrajaya duduk bersila menghadap ke timur dan tongkat tertancap didepannya. Tongkat dan Ki Cakrajaya telah hangus. Cakrajaya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih. Sunan Klaijaga kemudian mendekati Cakrajaya yang telah hangus, sambil berkata bahwa ujiannya telah berakhir dengan baik. Oleh kerana Ki Cakrajaya badannya hangus, maka Sunan Kalijaga memberi nama Sunan Geseng. Kata Geseng berasal dari bahasa jawa yang berarti  gosong karena terbakar. Sehingga kata geseng mempunyai maksud hangus sampai berwarna hitam karena terbakar  api, seperti halnya wujud Cakrajay yang tetrbakar kemudian Sunan Geseng disuruhnya pulang menemui istrinya serta dibekali kail. Sesampainya disungai Bonggowonto ia memancing terlebi dahulu, untuk berbuka puasa.
Berita kembalinya Cakrajaya sudah tersiar diseluruh Bagelen, yang akhirnya terdengar pula oleh Nyi Cakrajaya. Nyi Cakrajaya kemudian memanggil anaknya yang bernama Jaka Bedhug yang waktu ditinggalkan Ki Cakrajaya masih dalam kandungan. Jaka Bedhug dinasehati oleh ibunya gar berhati-hati, jangan mendekat dahulu dan jangan mengaku sebagai anaknya. Mengingat ayahnya sekarang menjadi orang sakti yang baru saja pulang dari bertapa. Mendengar penuturan ibunya, hati Jaka Bedhug sangat gembura tetapi masih harus bersabar dahulu. Namun Jaka Bedhug tidak kuat menahan kegembiraannya, ia berlari ingin mendekati ayahnya yang sedang mengail. Tiba-tiba rasa ragu-ragu muncul dalam hatinya, ia mengingat pesan ibunya. Ia melihat kekiri dan ke kanan, seakan-akan berani seakan-seakan-akan tidak. Bayang-bayang perolaku Jaka Bedhug ini nampak dalam air dan terlihat oleh Ki Cakrajaya, yang kemudian tanpa disadari berucap, hai anak siapa kamu, menengik kekiri dan kekanan seperti bedes kera. Ternyata selesai berkata, Ki Cakrajaya ini betul-betul terjadi, dan Jaka Bedhug berubah menjadi anak yang menyerupai kera. Hal ini terjadi karena kesaktiannya setelah bertapa, namun tidak disadari oleh Ki Cakrajaya.
Melihat dirinya berubah menyerupai kera, Jaka Bedhug berlari sambil menangis mencari ibunya, melihat keadaan anaknya ibunya sangat terkejut. Jaka Bedhug kemudian menceritakan perihal kelakuannya hingga ia bisa berubah menyeruapai kera. Nyi Cakrajaya kemudian pergi menemui suaminya, dan menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi terhadap anaknya. Ki Cakrajaya sangat menyesal, tetapi ini mungkin sudah menjadi kehandak Tuhan. Ia kemudian memohon kepada Tuhan agar Jaka Bedhug bisa kembali seperti semula, serta akan menemui gurunya yaitu Sunan Kalijaga untuk meminta petunjuk.
Setelah sampai ketempat Sunan Kalijaga yang pada waktu itu berada di daerah Jatinom, Cakrajaya menceritakan peristiwa yang menimpa anaknya serta memohon petunjuk bagaimana caranya bisa pulih kembali. Sunan Kalijaga berkata bahwa manusia wajib berusaha, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terkabul atau tidaknya permohonan ada ditanganNya. Cobalah ganti nama anakmu dengan namamu dan namamu gantilah dengan nama anakmu. Insyaallah akan terkabul permohonanmu. Seusai mendapat petunjuk, Cakrajaya memohon diri. Sesampainya dirumah semua petunjuk Sunan Kalijaga dilaksanakannya dan ternyata Jaka Bedhug bisa berubah seperti sediakala.

Setelah semuanya berjalan normal kembali. Cakrajaya kemudian pergi mengembara untuk mengamalkan ilmunya. Perjalanannya sampai di daerah Prambanan dan sekitarnya, ia bertempat tinggal di Desa Kenaran serta berganti nama dengan Ki Dhepok. Berita mengenai Ki Dhepok orang yang sakti tersebar luas sampai ke pelosok desa, bahkan sampai ke ibu kota kerjaaan Mataram.
Pada waktu itu Mataram di bawah kekuasaan Sutawijaya, dapat mempersatukan hampir seluruh Pulau Jawa. Pada waktu itu seorang garwa ampeyan atau selir sedang hamil, yang kemudian dipulangkan ke daerah asalnya, Madiun. Setelah anaknya lahir, diangkat sebagai anak oleh Pangeran Purbaya dan diserahkan kepada Ki Dephok agar dididik menjadi anak yang baik. Anak itu diberi nama Raden Mas Jolang. Raden Mas Jolang diberi pelajaran berbagai macam ilmu kautaman dan kasampurnaan, ilmu kanuragan maupun ilmu kebatinan. Raden Mas Jolang sudah dianggap seperti anaknya sendiri, segala ilmunya dicurahkan semuanya, karena Ki Cakrajaya mengetahui bahwa nantinya Raden Mas Jolang akan menjadi raja, sehingga ia dibekali dengan ilmu-ilmu yang tinggi.
Setelah dewasa, Raden Mas Jolang diberitahu oleh Cakrajaya atau Ki Dhepok, siapa sebenarnya dirinya. Kemudian setelah tamat belajarnya, ia disuruh pergi ke Mataram. Setelah sampai ke Kerjaaan Mataram, ternyata Sultan Mataram yang waktu itu Panembahan Senapati telah wafat. Kedatangan Raden Mas Jolang diketahui oleh ibunya, kemudian dipanggilnya dan diangkat menggantikan ayahnya, yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Seda Krapyak.
Ketika permaisuri Pangeran Seda Krapyak mengandung, beliau mengidam ikan yang bersisik emas atau dikenal dengan nama wader bang sisik kencana. Oleh karena sulitnya mencari ikan tersebut, kemudian diadakan sayembara. Ternyata Ki Dhepok atau Sunan Geseng yang menyanggupi sayembara itu, dengan mengajukan syarat agar disediakan benang sutra untuk digunakan sebagai jala; karena ikan tadi hanya dapat dijala dengan jala yang terbuat dari benang sutra. Permintaan itu dipenuhi dan tempat untuk membuat jala dan benang sutra itu kemudian disebut dengan Jalasutra.
Ternyata Sunan Geseng bisa berhasil dalam sayembara mendapatkan ikan tersebut. Sebagai tanda terima kasih atas jasa Sunan Geseng, ia diangkat menjadi sesepuh kerajaan dan dimintanya tinggal di kerajaan. Tetapi Sunan Geseng tidak mau tinggal di kerajaan, ia tetap menetap di Desa Jalasutra, dan setiap tahun di bulan Maulud selalu menyerahkan upeti ke kerajaan berupa upet dan obor dari pohon mandhing. Di desa Jalasutra, Sunan Geseng semakin dianggap sebagai orang yang berpengaruh. Segala sesuatu kegiatan yang ada di Desa Jalasutra selalu mohon restu kepadanya. Bahkan sampai sekarang meskipun Sunan Geseng sudah wafat, masyarakat Desa Jalasutra selalu memohon restu kepadanya dalam segala kegiatan ataupun pada saat mempunyai hajat. Mereka menganggap dan percaya bahwa Sunan Geseng masih selalu memberi restu dan perlindungannya terutama dalam masalah yang berhubungan dengan kegiatan pertanian.
Sejak jaman Sunan Geseng masih hidup, masyarakat Desa Jalasutra pada setiap tahunnya selalu mengadakan upaara Rosulan atau Bersih Desa, yang dilakukan setiap habis panen saja, terutama padi. Pada saat upacara Rosulan itu berlangsung banyak tamu yang datang bahkan dari kerajaan. Untuk menjamu para tamu yang datang dari kerajaan, dalam setiap upacara itu selalu dihidangkan makanan yang tidak termasuk sajen ‘sesaji’, yaitu berupa ketupat berikut lauk pauknya. Namun ketupat ini mempunyai kekhususan, sehingga akan lain dengan ketupat biasa yang dibuat dari janur daun kelapa yang masih muda. Ketupat yang dipakai untuk hidangan pada saat Rasulan di Jalasutra ini dibuat dari daun gebang dan ukurannya lebih besar dengan ketupat biasa, yaitu kurang lebih 15 cm x 15 cm sampai 35 cm x 35 cm besarnya. Cara mengolahnya pun berbeda dengan ketupat biasa, sehingga rasanya juga akan lain dengan ketupat biasa. Sedangkan lauknya berupa gudheg manggar ‘kembang kelapa yang masih muda’ dan ayam yang juga dimasak secara khusus sehingga rasanya pun lebih enak dibandingkan dengan gudheg biasa yang dibuat dari buah nangka muda.
Pada waktu itu ada salah seorang abdi dalem wanita yang mengabdi di kerajaan atau kraton, asalnya dari Desa Jalasutra. Setiap upacara Rasulan, ia selalu pulang ke desa untuk mengikuti pelaksanaan upacara tersebut. Sewaktu pulang ke kraton, ia selalu membawa oleh-oleh ketupat berikut lauk pauknya yang dimasak sendiri untuk para kerabat kraton. Akhirnya ketupat gebang dan gudheg manggar ini menjadi kegemaran para kerabat kraton, yang kemudian menjadi ciri khas dari upacara Rasulan Jalasutra. Dalam perkembangan selanjutnya, ia setiap upacara Rasulan selalu dihidangkan ketupat gebang dan gudheg manggar tidak hanya untuk para tamu dari kraton atau para tamu penting, tetapi dihidangkan pula untuk semua kerabat atau tamu yang menghadiri upacara tersebut. Adanya ketupat gebang yang ukurannya kurang lebih 15 cm x 15 cm sampai dengan35 cm x 35 cm, dan gudheg manggar ini menjadikan ketupat Jalasutra sangat terkenal. Kemudian upacara Rasulan itu sendiri lama-kelamaan dikenal dengan nama upacara Kupatan Jalasutra.
Sampai sekarang upacara Rasulan ini masih dikenal dengan nama upacara Kupatan, meskipun ketupat gebang dan gudheg manggar sudah tidak ada lagi. Hal ini dikarenakan sultinya mencari daun gebang serta manggarnya. Kini yang ada hanyalah ketupat biasa yang dibuat dari janur dengan lauk pauknya yang sederhana. Namun tidak mengurangi nilai ataupun arti dan ciri dari upacara Kupatan Jalasutra. Masing-masing penduduk selalu membuat ketupat pada setiap upacara Ketupat Jalasutra berlangsung, yang dipergunakan untuk menjamu para tamu atau kenalan yang datang ke rumahnya. Disamping itu banyak pula ketupat-ketupat yang dijajakan oleh penduduk Jalasutra dan sekitarnya di sepanjang jalan menuju tempat upacara maupun di tempat upacara itu sendiri.
Biasanya setiap pengunjung yang datang dalam upacara ini akan membeli ketupat-ketupat itu sebagai oleh-oleh atau sebagai tanda bahwa mereka baru saja menghadiri atau menyaksikan upacara Kupatan Jalasutra. Dengan membeli ketupat ini, mereka mengharapkan mendapat berkah dari Tuhan maupun dari
Sunan Geseng, Cikal bakal Desa Jalasutra. 

Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Upacara

Maksud dan tujuan penyelenggaran upacara Kupatan Jalasutra adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW, serta para leluhur, yang telah melimpahkan karunianya sehingga hasil pertanian mereka bisa berhasil dengan baik. Kecuali itu juga mohon berkah agar hasil pertaniannya yang akan datang bisa baik dari tahun kemarin. Hal ini dilakukan karena sudah menjadi kenyataan bahwa tanah di wilayah Desa Sri Mulyo pada umumnya dan Desa Jalasutra pada khususnya, hampir tidak mungkin dipakai sebagai lahan pertanian padi sawah dengan saluran irigasi yang memadai. Padi dan polowijo hanya bisa ditanam satu tahun satu kali, dengan menggantungkan datangnya air hujan. Dengan demikian sedikit banyak hujan yang turun, sangat mempengaruhi hasil panen mereka. Keberhasilan panen padi yang merupakan makanan pokok dan polowijo, merupakan peristiwa yang sangat penting, sehingga mereka merasa wajib mengucap syukur kepada Tuhan dan para leluhurnya, terutama ditujukan kepada Sunan Geseng sebagai cikal bakal dan pepundhen seluruh masyarakat Jalasutra.

Waktu Penyelenggaraan Upacara


Upacara Kupatan Jalasutra diselenggarakan beberapa saat setelah panen padi. Karena mereka mempunyai beberapa panenan seperti panenan tembakau, palawijo, dan lain-lain. Oleh karena padi dianggap sebagai tanaman pokok, maka waktu penyelenggaraan upacara Kupatan dilaksanakan setelah mereka panen padi atau panen raya.
Pelaksanaan upacara Kupatan setiap tahun sekali dengan mengambil hari Senin Legi. Sedangkan tanggalnya berdasarkan pedoman penanggalan atau kalender Jawa, yaitu dipilih antara tanggal 10 sampai dengan 15, saat-saat menjelang bulan purnama. Untuk bulan penyelenggaraannya tidak dapat ditetapkan, karena kalau musim turun hujan tidak bisa tepat, maka akan mempengaruhi pula saat panen raya, sehingga panen raya tidak selalu pasti bulannya. Namun sebagai pathokan ‘pedoman’ biasanya mengambil bulan Sapar. Puncak upacara dilaksanakan pada siang hari kurang lebih pukul 14.00 dan akan berakhir sekitar pukul 16.00.

   Tempat Penyelenggaran Upacara


Upacara Kupatan Jalasutra dilaksanakan di makam pepundhen masyarakat Jalasutra yaitu Sunan Geseng, yang dikenal pula dengan nama makam sentana. Dari Dusun Jalasutra jaraknya sekitar 3 km, dan letaknya di lereng bukit tersebut. Bagi para pengunjung upacara. Perjalanan menuju makam itu sangat melelahkan, karena harus berjalan kaki, kendaraan bermotor belum ada yang melewati jalan itu. Hal ini dikarenakan kondisi jalan yang sangat sulit dilalui, berbatu, terjal dan menanjak. Tetapi bagi penduduk Jalasutra, hal semacam ini sudah terbiasa, sehingga meskipun dengan beban yang cukup berat, mereka tidak menemui kesulitan dalam melakukan perjalanan ke makam Sunan Geseng.
Seperti telah disebut dalam bab II bahwa keadaan tanah Desa Sri Mulyo tidak seluruhnya datar, banyak desa-desa yang letaknya diantara semacam itu tidak mempengaruhi warga masyarakat untuk melaksanakan upacara Kupatan di setiap tahunnya.

Persiapan Penyelenggaraan Upacara

Sebelum hari pelaksanaan upacara, terlebih dahulu diadakan persiapan-persiapan. Persiapan dimulai sejak dua minggu sebelumnya, yaitu dengan melaksanakan kerja bakti di lingkungan masing-masing yang dilakukan oleh warga masyarakat. Kemudian dilakukan pula pembenahan jalan dan pengapuran pagar-pagar di pinggir jalan menuju ke makam Sunan Geseng. Juga membersihkan makam Sunan Geseng dan makam-makam leluhur lainnya yang ada di wilayah Jalasutra. Kerja bakti ini dilakukan oleh semua warga laki-laki baik tua maupun muda.
Tiga hari menjelang pelaksanaan upacara, diadakan pasar malam yang bertempat di lapangan Dusun Jalasutra. Pada malam menjelang puncak upacara, pasar malam banyak didatangi pengunjung, karena pada malam tersebut banyak pengunjung yang datang dari daerah lain yang bertujuan untuk berziarah ke makam Sunan Geseng, disamping untuk menyaksikan pasar malam. Adanya pasar malam ini bisa memberikan pemaskan pada kas Desa Sri Mulyo maupun pada Dusun Jalasutra pada khususnya, serta ikut memeriahkan upacara Kupatan itu sendiri.
Satu hari menjelang pelaksanaan upacara, warga masyarakat Jalasutra mulai mempersiapkan dengan membuat ketupat, serta memberikan jodhang yang akan dipakai untuk membawa ambeng ke tempat upacara. Kecuali itu juga dipersiapkan pemasangan umbul-umbul dan pembenahan-pembenahan di sekitar tempat upacara. Disamping itu dipersiapkan pula pembuatan takir dan sudhi yang akan dipergunakan sebagai tempat nasi dan lauk pauknya di saat puncak upacara.
Sementara itu sebagian penduduk mulai membuat ketupat yang akan dijual maupun dimakan sendiri atau untuk hidangan para tamu yang datang kerumahnya. Pada sore hari sampai malam hari beberapa penduduk mulai berjualan ketupat tersebut. Karena pada sore hari sampai menjelang Subuh, telah banyak pengunjung yang datang ke tempat upacara untuk berziarah dan pulangnya mereka membeli ketupat.
Sore harinya dipersiapkan pula bahan-bahan yang akan dipakai untuk upacara pagi harinya, serta mulai memasak bahan-bahan yang bisa dimasak terlebih dahulu seperti kerupuk, rempeyek, membuat sambal kacang sebagai kelengkapan nasi gurih, membuat puthu kering dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar esok harinya pada saat puncak upaacra tidak ada sesaji yang kurang, karena apabila sesaji tidak lengkap dapat menimbulkan hal-hal yang kurang baik bagi pelaksanaan upacara.
Pada malam harinya sampai menjelang Subuh banyak masyarakat yang datang dari berbagai daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Wonosoto, Temanggung, dan masyarakat sekitar Desa Sri Mulyo untuk berziarah di makam Sunan Geseng. Di makam Sunan Geseng sudah dipersiapkan juru kunci untuk menerima para peziarah, yang ingin menyampaikan maksud dan tujuan berziarah.
Pada hari menjelang puncak upacara, masyarakat Dusun Jalasutra mulai disibukkan dengan kegiatan yang berkaitan dengan saat puncak upaacra di siang harinya. Para wanita dan remaja putri sejak pagi hari sudah mulai memasak nasi gurih, ingkung, dan kelengkapan lainnya yang akan dibawa ke tempat upacara. Kemudian setelah memasak selesai mereka mengurusi takir dan sudhi dengan masakan yang telah dimasak pagi harinya, yang selanjutnya dimasukkan dalam Jodhang. Jodhang ini pun pada pagi hari dipersiapkan oleh para bapak maupun pemuda dengan dihias memakai janur, dan kertas-kertas berwarna dan hasil tanaman polowijo. Adapun bentuk dari jodhang-jodhang ada bermacam-macam, misalnya ada yang berbentuk rumah-rumahan, ada pula yang hanya berbentuk kotak dan lain sebagainya. Jodhang-jodhang ini dibuat dari kau dengan ukuran 1,5 m x 1 m, dengan tingginya kurang lebih 75 cm. tiap rukun tetangga akan membawa tiga buah jodhang, masing-masing jodhang akan diisi dengan ambeng, jajan pasar, dan hasil pertanian yang berupa polowijo.
Setelah jodhang dhias dan diisi dengan nasi gurih dan kelengkapan lainnya kemudian dipersiapkan pembawa jodhang, yang pada siang harinya akan membawa jodhang ini ke tempat upacara. Pada waktu dahulu dalam pelaksanaan upacara Kupatan, setiap warga emmbuat ambeng sendiri-sendiri dan dimasukkan dalam tenggok atau tenong kemudian dibawa sendiri-sendiri ke tempat upacara, akan tetapi sejak tahun 1986 diputuskan dalam rapat desa bahwa untuk pelaksanaan upacara Kupatan, ambeng dibuat tiap rukun tetangga. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban para warga, namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak berkurang. Ternyata keputusan rapat desa ini bisa diterima oleh seluruh warga masyarakat Jalasutra. Sampai sekarang pada setiap upacara Kupatan, ambeng dibuat tiap rukun tetangga, dengan menggunakan iuran yang cukup ringan dan untuk membawanya ke tempat upacara dipergunakan jodhang yang dipikul secara bergantian. 

Sesaji Upacara dan Makna Simbolik

Kupatan Jalasutra dalam pelaksanaannya didukung oleh unsur-unsur upacara yang antara lain berupa sesaji. Sesaji dalam upacara ini merpuakan hal yang penting, karena sesaji merupakan pelengkap dalam pelaksanaan upacara. Adapun sesaji tersebut antara lain :
Nasi gurih
:
Nasi putih yang dimasak dengan santan dan diberi bumbu tidak pedas, setelah masak rasanya gurih sehingga dinamakan nasi gurih. Dipakainya nasi gurih dalam upacara ini karena nasi gurih bermakna sebagai persembahan dari warga masyarakat kepada para leluhurnya yang telah tiada.
Ingkung
:
Ayam yang dimasak secara utuh, diberi bumbu tidak pedas dan santan. Ingkung melambangkan manusia ketika masih bayi, belum mempunyai kesalahan atau masih suci. Kecuali itu ingkung juga melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah pada kekuasaan Tuhan.
Jajan pasar
:
Sesaji yang terdiri dari bermacam-macam makanan yang dibeli di pasar. Jajan pasar bermakna semoga masyarakat akan mendapatkan berkah-Nya bertepatan dengan hari baik yang dipakai sebagai hari pelaksanaan upacara Kupatan Jalasutra.
Hasil polowijo
:
Berupa bermacam-macam hasil pertanian masyarakat yang terdiri dari ketela pohon, ubi-ubian, jagung, padi dan lain sebagainya. Diikutsertakannya hasil polowijo ini dimaksudkan sebagai persembahan warga masyarakat kepada para leluhurnya yang telah memberikan rakhmatnya sehingga tahun ini mereka bisa memetik hasil pertaniannya dengan baik.
Puthu kering
:
Sejenis makanan yang dibuat dari bahan beras ketan, kemudian digoreng hingga berwarna hitam, selanjutnya ditumbuk dan diberi gula jawa, dicetak bulat-bulat dengan ukuran kecil. Puthu kering selalu ada dalam setiap upacara Kupatan karena makanan ini berwarna hitam yang melambangkan warga kulit Sunan Geseng yang hitam legam. Dipilihnya beras ketan karena ketan mempunyai sifat pliket ‘melekat’ sehingga ketan mempunyai makna bahwa Sunan Geseng selalu melekat di hati masyarakat Jalasutra. Dengan adanya makanan ini akan selalu mengingatkan warga masyarakat akan cikal bakal Dusun Jalasutra, yaitu Sunan Geseng.
Kupat ‘ketupat’
:
Dimaksudkan dengan mengku papat yaitu persatuan, kesatuan, kesadaran dan kegotong royongan. Pada intinya dengan adnaya kupat ini masyarakat pendukung upacara mengharapkan agar persatuan, kesatuan, kesadaran dan kegotong royongan akan tetap terpelihara dan semakin kuat. Kupat diisi dengan beras; kupat melambangkan raga, dan beras melambang kan sukma.

   Jalannya Upacara

Pada hari Senin Legi setelah sholat Dhuzur, jodhang-jodhang yang berisi sesaji dari berbagai rukun tetangga di wilayah Dusun Jalasutra dibawa berkumpul di lapangan Dusun Jalasutra. Setelah semuanya siap kemudian secara bersama-sama jodhang-jodhang tersebut dibawa menuju ke tempat upacara di makam Sentana. Arak-arakan jodhang menuju ke tempat upacara diikuti oleh warga pendukungnya, dan diiringi dengan kesenian rakyat jathilan. Sesampainya di tempat upacara, jodhang-jodhang ditata dengan rapi, sambil menunggu para tamu undangan dan masyarakat lain yang akan mengikuti jalannya upacara Kupatan. Sementara itu sambil menunggu saat dimulainya puncak upacara Kupatan dipergelarkan kesenian jathilan.
Pukul 14.00 dimulailah pelaksanaan upacara Kupatan, diawali dengan sambutan Kepala Desa Sri Mulyo yang berisi tentang maksud dan tujuan dari upacara Kupatan ini, sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rakhmat dan karunia-Nya. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Muspika yang dalam hal ini dilakukan oleh Camat Piyungan. Isi dari sambutan Camat pada intinya agar upacara semacam ini tetap dilestarikan karena upacara tradisional ini merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yang masih diperlukan keberadaannya dan perlu dilestarikanna. Dengan berakhirnya sambutan dari Camat, selanjutnya dilaksanakan inti upacara yaitu ngujubaken ‘mengikrarkan’ hajat masyarakat Jalasutra dan dilanjutkan dengan doa yang dilakukan oleh juru kunci makam Sunan Geseng. Adapun isi ikrar tersebut merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas rakhmat yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga warga masyarakat bisa memetik hasil pertaniannya dengan baik. Selain itu juga memohon berkah agar di tahun-tahun yang akan datang mereka bisa memperoleh hasil panen yang melimpah. Tidak lupa masyarakat Jalasutra mendoakan arwah para leluhurnya terutama cikal bakal mereka yaitu Sunan Geseng agar segala amal baiknya diterima disisi Tuhan. Berikut ini kutipan ikrar yang disampaikan oleh juru kunci makam Sunan Geseng.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bapak-bapak, ibu-ibu para anak kula sedaya, Kula namung sakdemi ngaturaken ingkang dados kersanipun Bapak Lurah dalah para sedherek sedaya ing wilayah Jalasutra mriki. Inggih menika, dinten menika panjenengan sami, sami ngedalaken sodakoh namung sadermi ngladosaken rejekinipun Pangeran. Ingkang sakperlu kangge nglairaken kesukuran kita sesarengan wonton ngarsanipun Allah SWT. Mugi-mugi sodakoh ingkang panjenengan dolaken menika wau saestu Pangeran maringi ganjaran ingkang sakmethinipun, saengga saking atur panuwun panjenengan sami ganjaranipun. Sodakoh menika ingkang sapisan dipun kesusaken dhumateng junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dene ingkang kaping kalih dipun kesusaken dhumateng panjenengipun eyang Sunan Geseng ingkang sumare wonten pasereyan Sentana mriki. Dene ingkang koping tiga dipun kususaken dhumateng para ahli leluhur panjenengan piyambak-piyambak inggih leluhur ingkar saking kakung, saking putri, ingkang wonten ing pasereyan wilayah Jalasutra, dumugi manca gangsal, manca sekawan, manca tiga, sedaya ingkang dados leluhur panjenengan sami, mugi-mugi sageda waradin sadaya. Ingkang para ahli leluhur menika wau, mugi-mugi Pangeran paring pangapunten mbok bilih wonten tuni kalepatanipun nalika gesang wonten ing alam praja. Ing salengipun, mugi-mugi kesukuran panjenengan sedaya ngaturaken penuwun dhumateng Pangeran, awit anggenipun sami among tani saged kaparingan hasil ingkang maremaken. Mugi-mugi Pangeran maringi kecakepan kangge kabetahan gesagn panjenengan piyambak-piyambak dumigi sak akiripun, ngantos dumugi panen malih. Para bapak, para ibu, para sedherek sedaya, mekaten sambetan kanti singkat ingkang kita aturaken, mbok bilih wonten kekirangan atur kula, ……… Mugi-mugi Pangeran ngijabahi menapa ingkang dados atur panjenengan piyambak-piyambak…




Terjemahan :
Assalamu’alaikum warrahamatullahi wabarakatuh,
Bapak-bapak, ibu-ibu, para anakku semuanya. Saya menyampaikan apa yang menjadi keinginan Bapak Lurah dan saudara sekalian di wilayah Jalasutra ini. Yaitu, dihari ini saudara sekalian, mengeluarkan sodakoh yang merupakan pemberian Tuhan, yang tujuannya untuk mengucapkan syukur kehadapan Allah SWT. Semoga dengan sodakoh ini Tuhan memberi rakhmat dan karunianya sesuai dengan amal perbuatannya. Sodakoh ini yang pertama dihaturkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang kedua dihaturkan kepada Sunan Geseng yang dimakamkan di makam Sentana. Adapun yang ketiga dihaturkan kepada para leluhur saudara sekalian, baik itu leluhur dari laki-laki maupun dari wanita yang dimakamkan di wilayah Jalasutra, sampai manca gangsal, manca sekawan, manca tiga, semua yang menjadi leluhur saudara sekalian, semoga merata semuanya. Kepada para leluhur tadi, semoga Tuhan memberi ampunan apabila ada kesalahan ketika masih hidup didunia. Selanjutnya, semoga ucapan syukur saudara sekalian ini menjadikan dalam bertani mendapat hal yang baik. Semoga Tuhan memberi karunia dalam kehidupan saudara sekalian, sampai panen yang akan datang. Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara sekalian, demikianlah tadi sambutan singkat yang saya sampaikan, apabila ada kekurangan dalam perkataan saya, …… Semoga Tuhan mengabulkan semua yang menjadi kehendak saudara sekalian …

Kemudian dilanjutkan dengan doa yang intinya merupakan puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan dan memohon perlindungan, keselamatan dan nikmat yang telah diberikan-Nya selama ini. Juga doa untuk para orang tua dan leluhur, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal agar selalu diberi keselamatan dan ampun, sehingga dalam hidup dan kematian selalu mendapat perlindungan-Nya.
Setelah ikrar dan doa selesai dimulailah pembagian sesaji yang berupa nasi gurih dan lauk pauknya yang biasa disebut dengan ambeng serta hasil-hasil polowijo dan jajan pasar. Masyarakat pendukung upacara yang sejak pagi dengan tenang dan sabar menanti puncak upacara, kemudian beramai-ramai untuk mendapatkan ambeng dan sesaji lainnya, bahkan kadang kala untuk mendapatkannya dilakukan dengan rebutan ‘berebut’. Masyarakat pendukung upacara ini percaya dengan mendapatkan ambeng atau salah satu dari sesaji itu akan mendapat berkah atau ngalap berkah, sehingga segala apa yang diinginkannya akan terlaksana. Para pengikut upacara itu setelah mendapatkan sesaji tersebut kemudian memakannya di tempat upacara, tetapi ada pula yang dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarganya.
Masyarakat pendukung upacara ini mempunyai kepercayaan apabila pada saat dilaksanakan puncak upacara banyak pengunjung yang datang untuk mengikuti jalannya upacara, hal ini sudah bisa dipakai sebagai lambang atau pertanda bahwa hasil pertaniannya di masa yang akan datang akan semakin baik. Namun bila pada pelaksanaan puncak upacara pengunjungnya sedikit, maka suatu pertanda bahwa hasil panennya di masa datang akan sedikit berkurang dibanding tahun sebelumnya.
Kurang lebih pukul 16.00 para warga masyarakat Jalasutra dan pendukung upacara lainnya meninggalkan tempat upacara dan kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan lega, karena telah melaksanakan upacara atau hajat dengan selamat dan lancar. Sesampainya di rumah masing-masing masyarakat Dusun Jalasutra masih melakukan suatu kendhuri yagn dilaksanakan di setiap rukun tetangga. Masing-masing keluarga membawa ambeng yang berupa nasi putih dan lauk pauknya, antara lain berupa sayur yang dimasak pedas, bakmi goreng, tempe, tahu, rempeyek dan lain-lain, yang dibawa dengan nampan atau panci menuju ke tempat kendhuri. Kendhuri dilaksanakan di setiap rukun tetangga, ada yang bertempat di masjid dan ada pula yang bertempat di rumah perangkat desa. Adapun maksud dari kendhuri ini merupakan ungkapan rasa syukur atas karunia dan rakhmat Tuhan sehingga pelaksanaan upacara Kupatan bisa berjalan dengan lancar dan selamat.
Pada malam harinya sebagai kelanjutan ungkapan rasa syukur, masyarakat Jalasutra mempergelarkan kesenian tradisional. Pertunjukkan kesenian ini biasanya berupa wayang kulit semalam suntuk atau kethoprak, dengan cerita yang masih berkaitan dengan pertanian ataupun suksesnya sebuah kerajaan dengan seorang raja bijaksana. Dengan harapan dari cerita itu masyarakat bisa mengambil Hikmatnya untuk diterapkan dalam kehidupannya.
Lima hari setelah puncak upacara, diadakan selamatan berupa kendhuri, sebagai penutup rangkaian upacara Kupatan Jalasutra. Kendhuri diadakan  di tiap-tiap rukun tetangga, kemudian setelah selesai kendhuri di tiap-tiap rukun tetanga, dilaksanakan kendhuri yang bertempat di makam Prayan. Kendhuri dimakam Prayan diikuti oleh uturan dari masing-masing rukun tetangga dengan membawa nasi ambeng. Adapun tujuan kendhuri di makam Prayan yang disebut dengan nyadran ngisor adalah untuk menghormati leluhur yang dimakamkan di makam bagian bawah, selain makam Sunan Geseng atau makam Sentana yang letaknya di atas. Sedangkan puncak upacara yang bertempat di makam Sunan Geseng disebut dengan nyadran dhuwur. Dengan berakhirnya nyadran ngisor menandai akhir dari seluruh rangkaian upacara Kupatan Jalasutra.

 Pantangan-pantangan
Dalam setiap upacara tradisional biasanya terdapat suatu pantangan-pantangan yang harus selalu dipatuhi. Apabila pantangan-pantangan ini dilanggar maka akan terjadi sesuatu hal yang kurang baik pada desa setempat maupun menimpa warga masyarakatnya.
Pada upacara tradisional Kupatan Jalasutra juga terdapat pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu hari pelaksanaan upacara tidak diperkenankan mengambil hari selain hari Senin Legi. Hal ini disebabkan karena Senin Legi merupakan hari pada waktu Sunan Geseng diangkat menjadi murid oleh Sunan Kalijaga, sehingga hari itu dianggap hari yang baik untuk melaksanakan upacara Kupatan Jalasutra tersebut, sesuai dengan maksud upacara yang antara lain mengucap syukur pada Tuhan dan untuk menghormati leluhurnya atau cikal bakal Dusun Jalasutra. Perlu dikemukakan pula bahwa upacara Kupatan Jalasutra pernah dilaksanakan dengan tidak mengambil hari Senin Legi, diganti dengan Jumat Pon. Ternyata pelaksanaan upacara mengalami kegagalan. Setelah peristiwa itu maka masyarakat Jalasutra tidak berani mengubah atau mengalihkannya, sehingga setiap pelaksanaan upacara selalu jatuh pada hari Senin Legi.





Daftar Pustaka
Sunjata, Wahjudi Pantja dan Sri Retna Astuti. 1997. Kupatan Jalasutra: Tradisi,makna, dan Simboliknya. Yogyokarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

@Jogja_dot_com