Latar Belakang Upacara
Menurut legenda rakyat setempatdiceritakan,
tersebutlah seorang pertapa sakti bernama Ki Ageng Kotesan, tinggal di desa
Sinandu, Salaman Bagelan Purworejo, mempunyai seorang putra bernama Ki
Cakrajaya. Cakrajaya dalah seorang anak yang mempunyai kemauan keras,
berpendirian tetap, suka menyandiri dan berpuasa. Sesuai dengan namanya Cakra
yaitu bulat dan Jaya yaitu berani. Jadi Cakrajaya mempunyai makna berani
menempih hal-hal yang merintangi cita-citanya sehingga akhirnya bisa tercapai
segala apa yang diinginkan.
Sudah menjadi takdir bahwa orang yang ingin tercapai
cita-citanyabiasanya sering didahului dengan penderitaan. Itu terjadi pada
Cakrajaya, masa kecilnyua suka berpuasa, setelah dewasa dan beristri kemudian
hidup disuatu daerah yang bermata pencaharian ‘deres’ (menyadap pohon enau),
yanng tumbuh disalah satu pegunungan serta jauh dari tempat tinggalnya setiap
hari sebelum mataharti terbit, Cakrajaya berangkat dengan membawa bumbung (potongan bambu yang salah satu ujungnya
tertutup) yang disangkutkan pada ikat pinggang bagian belakang menuju ke tempat
kerjanya yaitu pegunungan sumberan.
Menyedap enau adalah suatu pekerjaan yang
menggunakan kesabaran karena hasilnya tidak begitucepat dan bisa didapat,
tetapi harus melalui tetes demi tetes. Sehingga dalam satu hari Cakrajaya hanya
bisa mendapatkan legen satu bumbung saja. Hasil sadapan enau itu kemudian
dibawa pulang dan diserahkan kepada istrinya untuk dibuat gula aren. Pembuatan
gulapun tidak dilakukan setiap hari, kadang-kadang tiga hari sekali, hal itu
tergantung adri hasil sedapan enaunya. Sebab pohon enau yang disadap hanya satu
batang, sehingga paling tidak tiga hari sekali Nyi Cakrajaya pergi kepasar
untuk menjual gula arennya. Meskipun keadaan hidup Ki Cakrajaya sekeluarga sangan
menderita tetapi mereka tidak pernah mengeluh, karena mereka mempunyai pedoman
tidak perlu mengaluh diwaktu menderita dan tidak perlu menunjukkan kegemberiaan
diwaktu menerima kebahagiaan. Cakrajaya menanamkan filsafat hidup pada
keluarganya, bahwa hidup bahagia terdapat pada isi hati diri pribadi.
Pada suatu hari, pagi-pagi setelah bangun tidur,
Cakrajaya duduk merenung sebab ia meraskan denyut jantung nya berdebar-debar,
ada suatu perasaan aneh didalam hatinya, sehingga sampai siang hari Cakrajaya belum
berangkat bekarja. Melihat keadaan itu timbul pertanyaan pada diri istrinya,
namun setelah bertanya hanya dijawab tidak ada apa-apa, dam kemudian Cakrajaya
berangkat. Sesampainya disumberan ia langsung naik keatas pohon enau untuk
mengambil bumbung dan menggantikan dengan bumbung yang kosong. Pada saat
mengambil bumbung itu isi bumbung begitu banyak tidak seperti biasanya.
Kejidian ini belum pernah ia alami, ia mengira ini yang membuat ia
berdebar-debar. Sebelum ia turun membawa sedapan enaunya terdengar suara dari
bawah, yang menanyakan apa kerja Ki Cakrajaya hanya naik turun pohon enau?.
Sambil turun, pertayaan dijawabnya apakah Ki sanak akan membeli gula aren?
Sesrorang yang ternyata Sunan Kalijaga ii tidak menjawab dan kemudaian
menggandeng tangan Cakrajaya untuk pulang. Didalam perjlanan yangdibahas adalah
tentang jatining urip dan urip sejati (hakekat hidup). Sesampainya dirumah
pembicaraan mereka masih dilanjutkan. Bahkan dibicarakan pula tentang apa makna
dari makan sekali kenyang selamanya. Serta adanya sebuah pertanyaan apa isi
bumbung yanghilang kedua ruasnya.
Pembicaraan itu membuat Cakrajaya bertanya-tanya
sebanarnya siapa orang ini, sehingga ia bisa mangajarkan beberapa falsafah
hidup. Belum sampai terjawab pertanyaan
hati, tiba-tiba Sunan Kalijaga bangkit
dari tempat duduknya dengan maksud akan meninggalkan tempat tinggal Ki
Cakrajaya, sambil mengucap Ya Rockhman
Rokhim-Mu. Ki Cakrajaya mendengar kata-kata itu menjadi terbuka
hatinya dan fikirannya jernih. Setelah
mengucapkan kata-kata itu Sunan Kali
jaga lenyap dari pandangannya, sehingga membuat hati Cakrajaya keheranan dan
tidak bisa berucap sepatah katapun. Bahkan kemudian ia melihat gula aren yang
masih dalam cetakan berubah menjadi emas.
Melihat kenyataan ini kemudian Cakrajaya berkata pada istrinya yang pada
waktu itu sedang mengandung empat bulan, bahwa mungkin itu sudah saatnya kita
akan berpisah. Lihatlah gula dalam tangkeban itu telah menjadi emas. Gunakanlah
emas itu untuk hidupmu, stelah berpesan kepada istrinya, ia pergi mengejar
Sunan Kalijaga.
Pada suatu hari saat bulan purnama, perjalanan K I
Cakrajaya sampai di suatu tempat. Di tempat itu tumbuh pohon beringin yang
besar, ia ingin melepaskan lelah sambil tiduran dibawah pohon tersebut. kebetulan didekat pohon itu terdapat pancuran
air yang menge=luarkan suara gemercik. Sambil merebahkan badanya, dalam hati ia
berkata Ya Robbi, Kyai Ageng ingkang
emut, dika urip kula urip. Tiba-tiba terdengar suara dari balik pohon
beringin itu, Ki Sanak- ki sanak dika
urip kula urip. Ki Cakrajaya
kemudian menengok , dibalik pohon beringin itu, ia melihat Sunan
Kalijaga sedang memutar-mutar tasbihnya. Cakrajaya kemudian mendekati temoat
duduk Sunan Kalijaga sambil berkata bahwa ia akan menyerahkan jiwa raganya
serta hidup matinya dan berniat menjadi muridnya yang sanggup mengikuti jejak
perjalanannya.
Dengan tersenyum Sunan Kalijaga berkata, Cakrajaya
saya ini hanya manusia biasa seperti kamu, jadi tidak benar kamu menyerahkan
hidup mati dan jiwa ragamu kepadamu. Saya bukan yang gawe urip dan yang bukan
gawe pati dan bukn tempat jiwa. Selanjutnya Sunan Kalijaga berkata Ki sanak
kalau kamu betul-betul berniat, apa yang kamu ingini secara lahir batin yaitu mencari kesempurnaan hidup, ikuti dan
kerjakan segala petunjukku ini. Sujudlah seluruh jia ragamu, lahir batin,
dihadapan Tuhan Yang Maha Agung dan ini tongkat untukmu, jagalah baik-baik.
Pada saatnya nanti kita akan bertemu di pegunungan Lowanu untuk melanjutkan
pembicaraan tentang ilmu dan filsafat hidup.
Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun Sunan Kalijaga
menyamar menjadi orang kebanyakan dan menggunakan nama Citra berkelana sambil
mengamalkan ilmunya kepada penduduk yang didatangi. Pada saat sunan Kalijaga
berada di daerah mataram, menetap agak lama sehingga sampai mempunyai dua abdi
yang bernama Ki Semi dan Nyi Galuh. Saat Sunan kalijaga duduk di serambi
padehpokannya, ia teringat akan janjinya pada Ki Cakrajaya biloa akan bertemu
lagi di Pedukuhan Lowanu.
Pada waktu itu, setelah di pesan oleh Sunan Kalijaga
dengan kemauan yang kuat, kepatuhan dan kedisiplinan, Cakrajaya Menuju
Pedukuhan Lowanu. Ia ingin memperlihatkan dan menujukan ketaatan dan
kesetiaanya serta Sampurnaning Lampah kepada sunan kalijaga. Sesampainya di
pedukuhan Lowanu, dengan jalan duduk diatas batu dan bersila, memejamkan mata
serta tongkat di tancapkan di depannya, mulailah ia bersemadi, sambil menunggu
kedatangan sunan kalijaga.
Ternyata Suna Kalijaga hampir lupa engan janjinya.
Sudah bertahun-tahun lamanya baru teringat, bahwa ia mempunyai murid yang
sedang menunggunya, kemudian Sunan Kalijaga mencari tempat dimana Cakrajaya
berada. Karena lamanya mengakibatkan pedukuhan lowanu telah berubah menjadi
hutan belantara sehingga menyulitkan Sunan Kalijaga dalam pencariannya. Ini
membuktian bahwa perpisahan keduanya sangat lama. Untuk mempermudah dan
mempercepat mencari Ki Cakrajaya, Sunan Kalijaga mengambil keputusan untuk
membakar hutan. Setelah api padam, nampak Ki Cakrajaya duduk bersila menghadap
ke timur dan tongkat tertancap didepannya. Tongkat dan Ki Cakrajaya telah
hangus. Cakrajaya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya dan mengucapkan
terima kasih. Sunan Klaijaga kemudian mendekati Cakrajaya yang telah hangus,
sambil berkata bahwa ujiannya telah berakhir dengan baik. Oleh kerana Ki
Cakrajaya badannya hangus, maka Sunan Kalijaga memberi nama Sunan Geseng. Kata
Geseng berasal dari bahasa jawa yang berarti
gosong karena terbakar. Sehingga kata geseng mempunyai maksud hangus
sampai berwarna hitam karena terbakar
api, seperti halnya wujud Cakrajay yang tetrbakar kemudian Sunan Geseng
disuruhnya pulang menemui istrinya serta dibekali kail. Sesampainya disungai
Bonggowonto ia memancing terlebi dahulu, untuk berbuka puasa.
Berita kembalinya Cakrajaya sudah tersiar diseluruh
Bagelen, yang akhirnya terdengar pula oleh Nyi Cakrajaya. Nyi Cakrajaya
kemudian memanggil anaknya yang bernama Jaka Bedhug yang waktu ditinggalkan Ki
Cakrajaya masih dalam kandungan. Jaka Bedhug dinasehati oleh ibunya gar
berhati-hati, jangan mendekat dahulu dan jangan mengaku sebagai anaknya.
Mengingat ayahnya sekarang menjadi orang sakti yang baru saja pulang dari
bertapa. Mendengar penuturan ibunya, hati Jaka Bedhug sangat gembura tetapi
masih harus bersabar dahulu. Namun Jaka Bedhug tidak kuat menahan
kegembiraannya, ia berlari ingin mendekati ayahnya yang sedang mengail.
Tiba-tiba rasa ragu-ragu muncul dalam hatinya, ia mengingat pesan ibunya. Ia
melihat kekiri dan ke kanan, seakan-akan berani seakan-seakan-akan tidak.
Bayang-bayang perolaku Jaka Bedhug ini nampak dalam air dan terlihat oleh Ki
Cakrajaya, yang kemudian tanpa disadari berucap, hai anak siapa kamu, menengik
kekiri dan kekanan seperti bedes kera. Ternyata selesai berkata, Ki Cakrajaya
ini betul-betul terjadi, dan Jaka Bedhug berubah menjadi anak yang menyerupai
kera. Hal ini terjadi karena kesaktiannya setelah bertapa, namun tidak disadari
oleh Ki Cakrajaya.
Melihat dirinya berubah menyerupai kera, Jaka Bedhug
berlari sambil menangis mencari ibunya, melihat keadaan anaknya ibunya sangat
terkejut. Jaka Bedhug kemudian menceritakan perihal kelakuannya hingga ia bisa
berubah menyeruapai kera. Nyi Cakrajaya kemudian pergi menemui suaminya, dan
menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi terhadap anaknya. Ki Cakrajaya
sangat menyesal, tetapi ini mungkin sudah menjadi kehandak Tuhan. Ia kemudian
memohon kepada Tuhan agar Jaka Bedhug bisa kembali seperti semula, serta akan
menemui gurunya yaitu Sunan Kalijaga untuk meminta petunjuk.
Setelah sampai ketempat Sunan Kalijaga yang pada
waktu itu berada di daerah Jatinom, Cakrajaya menceritakan peristiwa yang
menimpa anaknya serta memohon petunjuk bagaimana caranya bisa pulih kembali.
Sunan Kalijaga berkata bahwa manusia wajib berusaha, memohon kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, terkabul atau tidaknya permohonan ada ditanganNya. Cobalah ganti
nama anakmu dengan namamu dan namamu gantilah dengan nama anakmu. Insyaallah
akan terkabul permohonanmu. Seusai mendapat petunjuk, Cakrajaya memohon diri.
Sesampainya dirumah semua petunjuk Sunan Kalijaga dilaksanakannya dan ternyata
Jaka Bedhug bisa berubah seperti sediakala.
Setelah semuanya berjalan normal
kembali. Cakrajaya kemudian pergi mengembara untuk mengamalkan ilmunya.
Perjalanannya sampai di daerah Prambanan dan sekitarnya, ia bertempat tinggal
di Desa Kenaran serta berganti nama dengan Ki Dhepok. Berita mengenai Ki Dhepok
orang yang sakti tersebar luas sampai ke pelosok desa, bahkan sampai ke ibu
kota kerjaaan Mataram.
Pada waktu itu Mataram di bawah
kekuasaan Sutawijaya, dapat mempersatukan hampir seluruh Pulau Jawa. Pada waktu
itu seorang garwa ampeyan atau selir
sedang hamil, yang kemudian dipulangkan ke daerah asalnya, Madiun. Setelah
anaknya lahir, diangkat sebagai anak oleh Pangeran Purbaya dan diserahkan
kepada Ki Dephok agar dididik menjadi anak yang baik. Anak itu diberi nama
Raden Mas Jolang. Raden Mas Jolang diberi pelajaran berbagai macam ilmu kautaman dan kasampurnaan, ilmu kanuragan
maupun ilmu kebatinan. Raden Mas Jolang sudah dianggap seperti anaknya
sendiri, segala ilmunya dicurahkan semuanya, karena Ki Cakrajaya mengetahui
bahwa nantinya Raden Mas Jolang akan menjadi raja, sehingga ia dibekali dengan
ilmu-ilmu yang tinggi.
Setelah dewasa, Raden Mas Jolang diberitahu
oleh Cakrajaya atau Ki Dhepok, siapa sebenarnya dirinya. Kemudian setelah tamat
belajarnya, ia disuruh pergi ke Mataram. Setelah sampai ke Kerjaaan Mataram,
ternyata Sultan Mataram yang waktu itu Panembahan Senapati telah wafat.
Kedatangan Raden Mas Jolang diketahui oleh ibunya, kemudian dipanggilnya dan
diangkat menggantikan ayahnya, yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Seda
Krapyak.
Ketika permaisuri Pangeran Seda Krapyak
mengandung, beliau mengidam ikan yang bersisik emas atau dikenal dengan nama wader bang sisik kencana. Oleh karena
sulitnya mencari ikan tersebut, kemudian diadakan sayembara. Ternyata Ki Dhepok
atau Sunan Geseng yang menyanggupi sayembara itu, dengan mengajukan syarat agar
disediakan benang sutra untuk digunakan sebagai jala; karena ikan tadi hanya
dapat dijala dengan jala yang terbuat dari benang sutra. Permintaan itu
dipenuhi dan tempat untuk membuat jala dan benang sutra itu kemudian disebut
dengan Jalasutra.
Ternyata Sunan Geseng bisa berhasil
dalam sayembara mendapatkan ikan tersebut. Sebagai tanda terima kasih atas jasa
Sunan Geseng, ia diangkat menjadi sesepuh
kerajaan dan dimintanya tinggal di kerajaan. Tetapi Sunan Geseng tidak mau
tinggal di kerajaan, ia tetap menetap di Desa Jalasutra, dan setiap tahun di
bulan Maulud selalu menyerahkan upeti
ke kerajaan berupa upet dan obor dari pohon mandhing. Di desa Jalasutra, Sunan Geseng semakin dianggap sebagai
orang yang berpengaruh. Segala sesuatu kegiatan yang ada di Desa Jalasutra
selalu mohon restu kepadanya. Bahkan sampai sekarang meskipun Sunan Geseng
sudah wafat, masyarakat Desa Jalasutra selalu memohon restu kepadanya dalam
segala kegiatan ataupun pada saat mempunyai hajat. Mereka menganggap dan
percaya bahwa Sunan Geseng masih selalu memberi restu dan perlindungannya terutama
dalam masalah yang berhubungan dengan kegiatan pertanian.
Sejak jaman Sunan Geseng masih hidup,
masyarakat Desa Jalasutra pada setiap tahunnya selalu mengadakan upaara Rosulan atau Bersih Desa, yang dilakukan
setiap habis panen saja, terutama padi. Pada saat upacara Rosulan itu berlangsung banyak tamu yang datang bahkan dari
kerajaan. Untuk menjamu para tamu yang datang dari kerajaan, dalam setiap
upacara itu selalu dihidangkan makanan yang tidak termasuk sajen ‘sesaji’, yaitu berupa ketupat berikut lauk pauknya. Namun
ketupat ini mempunyai kekhususan, sehingga akan lain dengan ketupat biasa yang
dibuat dari janur daun kelapa yang
masih muda. Ketupat yang dipakai untuk hidangan pada saat Rasulan di Jalasutra ini dibuat dari daun gebang dan ukurannya
lebih besar dengan ketupat biasa, yaitu kurang lebih 15 cm x 15 cm sampai 35 cm
x 35 cm besarnya. Cara mengolahnya pun berbeda dengan ketupat biasa, sehingga
rasanya juga akan lain dengan ketupat biasa. Sedangkan lauknya berupa gudheg manggar ‘kembang kelapa yang
masih muda’ dan ayam yang juga dimasak secara khusus sehingga rasanya pun lebih
enak dibandingkan dengan gudheg biasa
yang dibuat dari buah nangka muda.
Pada waktu itu ada salah seorang abdi dalem wanita yang mengabdi di
kerajaan atau kraton, asalnya dari Desa Jalasutra. Setiap upacara Rasulan, ia selalu pulang ke desa untuk
mengikuti pelaksanaan upacara tersebut. Sewaktu pulang ke kraton, ia selalu
membawa oleh-oleh ketupat berikut lauk pauknya yang dimasak sendiri untuk para
kerabat kraton. Akhirnya ketupat gebang
dan gudheg manggar ini menjadi kegemaran para kerabat kraton, yang kemudian
menjadi ciri khas dari upacara Rasulan
Jalasutra. Dalam perkembangan selanjutnya, ia setiap upacara Rasulan selalu dihidangkan ketupat gebang dan gudheg manggar tidak hanya
untuk para tamu dari kraton atau para tamu penting, tetapi dihidangkan pula
untuk semua kerabat atau tamu yang menghadiri upacara tersebut. Adanya ketupat gebang yang ukurannya kurang
lebih 15 cm x 15 cm sampai dengan35 cm x 35 cm, dan gudheg manggar ini menjadikan ketupat Jalasutra sangat terkenal.
Kemudian upacara Rasulan itu sendiri
lama-kelamaan dikenal dengan nama upacara Kupatan
Jalasutra.
Sampai sekarang upacara Rasulan ini masih dikenal dengan nama
upacara Kupatan, meskipun ketupat gebang dan gudheg manggar sudah tidak ada lagi. Hal ini dikarenakan sultinya
mencari daun gebang serta manggarnya. Kini yang ada hanyalah
ketupat biasa yang dibuat dari janur dengan lauk pauknya yang sederhana. Namun
tidak mengurangi nilai ataupun arti dan ciri dari upacara Kupatan Jalasutra. Masing-masing penduduk selalu membuat ketupat
pada setiap upacara Ketupat Jalasutra
berlangsung, yang dipergunakan untuk menjamu para tamu atau kenalan yang datang
ke rumahnya. Disamping itu banyak pula ketupat-ketupat yang dijajakan oleh
penduduk Jalasutra dan sekitarnya di sepanjang jalan menuju tempat upacara
maupun di tempat upacara itu sendiri.
Biasanya setiap pengunjung yang datang
dalam upacara ini akan membeli ketupat-ketupat itu sebagai oleh-oleh atau
sebagai tanda bahwa mereka baru saja menghadiri atau menyaksikan upacara Kupatan Jalasutra. Dengan membeli
ketupat ini, mereka mengharapkan mendapat berkah
dari Tuhan maupun dari
Sunan Geseng, Cikal bakal Desa Jalasutra.
Sunan Geseng, Cikal bakal Desa Jalasutra.
Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Upacara
Maksud
dan tujuan penyelenggaran upacara Kupatan
Jalasutra adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan Nabi Muhammad SAW, serta para leluhur, yang telah melimpahkan karunianya
sehingga hasil pertanian mereka bisa berhasil dengan baik. Kecuali itu juga
mohon berkah agar hasil pertaniannya
yang akan datang bisa baik dari tahun kemarin. Hal ini dilakukan karena sudah
menjadi kenyataan bahwa tanah di wilayah Desa Sri Mulyo pada umumnya dan Desa
Jalasutra pada khususnya, hampir tidak mungkin dipakai sebagai lahan pertanian
padi sawah dengan saluran irigasi yang memadai. Padi dan polowijo hanya bisa
ditanam satu tahun satu kali, dengan menggantungkan datangnya air hujan. Dengan
demikian sedikit banyak hujan yang turun, sangat mempengaruhi hasil panen
mereka. Keberhasilan panen padi yang merupakan makanan pokok dan polowijo,
merupakan peristiwa yang sangat penting, sehingga mereka merasa wajib mengucap
syukur kepada Tuhan dan para leluhurnya, terutama ditujukan kepada Sunan Geseng
sebagai cikal bakal dan pepundhen seluruh
masyarakat Jalasutra.
Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara
Kupatan Jalasutra diselenggarakan
beberapa saat setelah panen padi. Karena mereka mempunyai beberapa panenan
seperti panenan tembakau, palawijo, dan lain-lain. Oleh karena padi dianggap
sebagai tanaman pokok, maka waktu penyelenggaraan upacara Kupatan dilaksanakan setelah mereka panen padi atau panen raya.
Pelaksanaan
upacara Kupatan setiap tahun sekali
dengan mengambil hari Senin Legi. Sedangkan tanggalnya berdasarkan pedoman
penanggalan atau kalender Jawa, yaitu dipilih antara tanggal 10 sampai dengan
15, saat-saat menjelang bulan purnama. Untuk bulan penyelenggaraannya tidak
dapat ditetapkan, karena kalau musim turun hujan tidak bisa tepat, maka akan
mempengaruhi pula saat panen raya, sehingga panen raya tidak selalu pasti
bulannya. Namun sebagai pathokan
‘pedoman’ biasanya mengambil bulan Sapar.
Puncak upacara dilaksanakan pada siang hari kurang lebih pukul 14.00 dan akan
berakhir sekitar pukul 16.00.
Tempat Penyelenggaran Upacara
Upacara
Kupatan Jalasutra dilaksanakan di
makam pepundhen masyarakat Jalasutra
yaitu Sunan Geseng, yang dikenal pula dengan nama makam sentana. Dari Dusun Jalasutra jaraknya sekitar 3 km, dan letaknya
di lereng bukit tersebut. Bagi para pengunjung upacara. Perjalanan menuju makam
itu sangat melelahkan, karena harus berjalan kaki, kendaraan bermotor belum ada
yang melewati jalan itu. Hal ini dikarenakan kondisi jalan yang sangat sulit
dilalui, berbatu, terjal dan menanjak. Tetapi bagi penduduk Jalasutra, hal
semacam ini sudah terbiasa, sehingga meskipun dengan beban yang cukup berat,
mereka tidak menemui kesulitan dalam melakukan perjalanan ke makam Sunan Geseng.
Seperti
telah disebut dalam bab II bahwa keadaan tanah Desa Sri Mulyo tidak seluruhnya
datar, banyak desa-desa yang letaknya diantara semacam itu tidak mempengaruhi
warga masyarakat untuk melaksanakan upacara Kupatan
di setiap tahunnya.
Persiapan
Penyelenggaraan Upacara
Sebelum
hari pelaksanaan upacara, terlebih dahulu diadakan persiapan-persiapan.
Persiapan dimulai sejak dua minggu sebelumnya, yaitu dengan melaksanakan kerja
bakti di lingkungan masing-masing yang dilakukan oleh warga masyarakat. Kemudian
dilakukan pula pembenahan jalan dan pengapuran pagar-pagar di pinggir jalan
menuju ke makam Sunan Geseng. Juga membersihkan makam Sunan Geseng dan
makam-makam leluhur lainnya yang ada di wilayah Jalasutra. Kerja bakti ini
dilakukan oleh semua warga laki-laki baik tua maupun muda.
Tiga
hari menjelang pelaksanaan upacara, diadakan pasar malam yang bertempat di
lapangan Dusun Jalasutra. Pada malam menjelang puncak upacara, pasar malam
banyak didatangi pengunjung, karena pada malam tersebut banyak pengunjung yang
datang dari daerah lain yang bertujuan untuk berziarah ke makam Sunan Geseng,
disamping untuk menyaksikan pasar malam. Adanya pasar malam ini bisa memberikan
pemaskan pada kas Desa Sri Mulyo maupun pada Dusun Jalasutra pada khususnya,
serta ikut memeriahkan upacara Kupatan itu
sendiri.
Satu
hari menjelang pelaksanaan upacara, warga masyarakat Jalasutra mulai
mempersiapkan dengan membuat ketupat, serta memberikan jodhang yang akan dipakai untuk membawa ambeng ke tempat upacara. Kecuali itu juga dipersiapkan pemasangan umbul-umbul dan pembenahan-pembenahan di
sekitar tempat upacara. Disamping itu dipersiapkan pula pembuatan takir dan sudhi yang akan dipergunakan sebagai tempat nasi dan lauk pauknya
di saat puncak upacara.
Sementara
itu sebagian penduduk mulai membuat ketupat yang akan dijual maupun dimakan
sendiri atau untuk hidangan para tamu yang datang kerumahnya. Pada sore hari
sampai malam hari beberapa penduduk mulai berjualan ketupat tersebut. Karena
pada sore hari sampai menjelang Subuh, telah banyak pengunjung yang datang ke
tempat upacara untuk berziarah dan pulangnya mereka membeli ketupat.
Sore
harinya dipersiapkan pula bahan-bahan yang akan dipakai untuk upacara pagi
harinya, serta mulai memasak bahan-bahan yang bisa dimasak terlebih dahulu
seperti kerupuk, rempeyek, membuat sambal kacang sebagai kelengkapan nasi gurih, membuat puthu kering dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar esok
harinya pada saat puncak upaacra tidak ada sesaji yang kurang, karena apabila
sesaji tidak lengkap dapat menimbulkan hal-hal yang kurang baik bagi
pelaksanaan upacara.
Pada
malam harinya sampai menjelang Subuh banyak masyarakat yang datang dari
berbagai daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Wonosoto, Temanggung, dan
masyarakat sekitar Desa Sri Mulyo untuk berziarah di makam Sunan Geseng. Di
makam Sunan Geseng sudah dipersiapkan juru kunci untuk menerima para peziarah,
yang ingin menyampaikan maksud dan tujuan berziarah.
Pada
hari menjelang puncak upacara, masyarakat Dusun Jalasutra mulai disibukkan
dengan kegiatan yang berkaitan dengan saat puncak upaacra di siang harinya.
Para wanita dan remaja putri sejak pagi hari sudah mulai memasak nasi gurih, ingkung, dan kelengkapan lainnya yang akan dibawa ke tempat
upacara. Kemudian setelah memasak selesai mereka mengurusi takir dan sudhi dengan
masakan yang telah dimasak pagi harinya, yang selanjutnya dimasukkan dalam Jodhang. Jodhang ini pun pada pagi hari dipersiapkan oleh para bapak maupun
pemuda dengan dihias memakai janur,
dan kertas-kertas berwarna dan hasil tanaman polowijo. Adapun bentuk dari jodhang-jodhang ada bermacam-macam,
misalnya ada yang berbentuk rumah-rumahan, ada pula yang hanya berbentuk kotak
dan lain sebagainya. Jodhang-jodhang ini
dibuat dari kau dengan ukuran 1,5 m x 1 m, dengan tingginya kurang lebih 75 cm.
tiap rukun tetangga akan membawa tiga buah jodhang,
masing-masing jodhang akan diisi
dengan ambeng, jajan pasar, dan hasil
pertanian yang berupa polowijo.
Setelah
jodhang dhias dan diisi dengan nasi gurih dan kelengkapan lainnya
kemudian dipersiapkan pembawa jodhang,
yang pada siang harinya akan membawa jodhang
ini ke tempat upacara. Pada waktu dahulu dalam pelaksanaan upacara Kupatan, setiap warga emmbuat ambeng
sendiri-sendiri dan dimasukkan dalam
tenggok atau tenong kemudian
dibawa sendiri-sendiri ke tempat upacara, akan tetapi sejak tahun 1986
diputuskan dalam rapat desa bahwa untuk pelaksanaan upacara Kupatan, ambeng dibuat tiap rukun tetangga.
Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban para warga, namun nilai-nilai yang
terkandung didalamnya tidak berkurang. Ternyata keputusan rapat desa ini bisa
diterima oleh seluruh warga masyarakat Jalasutra. Sampai sekarang pada setiap
upacara Kupatan, ambeng dibuat tiap rukun tetangga, dengan menggunakan iuran yang
cukup ringan dan untuk membawanya ke tempat upacara dipergunakan jodhang yang dipikul secara bergantian.
Sesaji
Upacara dan Makna Simbolik
Kupatan Jalasutra
dalam pelaksanaannya didukung oleh unsur-unsur upacara yang antara lain berupa
sesaji. Sesaji dalam upacara ini merpuakan hal yang penting, karena sesaji
merupakan pelengkap dalam pelaksanaan upacara. Adapun sesaji tersebut antara
lain :
Nasi gurih
|
:
|
Nasi
putih yang dimasak dengan santan dan diberi bumbu tidak pedas, setelah masak
rasanya gurih sehingga dinamakan nasi
gurih. Dipakainya nasi gurih
dalam upacara ini karena nasi gurih bermakna
sebagai persembahan dari warga masyarakat kepada para leluhurnya yang telah
tiada.
|
Ingkung
|
:
|
Ayam yang
dimasak secara utuh, diberi bumbu tidak pedas dan santan. Ingkung melambangkan manusia ketika
masih bayi, belum mempunyai kesalahan atau masih suci. Kecuali itu ingkung
juga melambangkan kelakuan pasrah
atau menyerah pada kekuasaan Tuhan.
|
Jajan
pasar
|
:
|
Sesaji yang
terdiri dari bermacam-macam makanan yang dibeli di pasar. Jajan pasar bermakna semoga masyarakat
akan mendapatkan berkah-Nya
bertepatan dengan hari baik yang dipakai sebagai hari pelaksanaan upacara Kupatan Jalasutra.
|
Hasil
polowijo
|
:
|
Berupa
bermacam-macam hasil pertanian masyarakat yang terdiri dari ketela pohon,
ubi-ubian, jagung, padi dan lain sebagainya. Diikutsertakannya hasil polowijo
ini dimaksudkan sebagai persembahan warga masyarakat kepada para leluhurnya
yang telah memberikan rakhmatnya sehingga tahun ini mereka bisa memetik hasil
pertaniannya dengan baik.
|
Puthu
kering
|
:
|
Sejenis
makanan yang dibuat dari bahan beras ketan, kemudian digoreng hingga berwarna
hitam, selanjutnya ditumbuk dan diberi gula jawa, dicetak bulat-bulat dengan
ukuran kecil. Puthu kering selalu
ada dalam setiap upacara Kupatan karena
makanan ini berwarna hitam yang melambangkan warga kulit Sunan Geseng yang
hitam legam. Dipilihnya beras ketan karena
ketan mempunyai sifat pliket ‘melekat’
sehingga ketan mempunyai makna bahwa Sunan Geseng selalu melekat di hati
masyarakat Jalasutra. Dengan adanya makanan ini akan selalu mengingatkan
warga masyarakat akan cikal bakal
Dusun Jalasutra, yaitu Sunan Geseng.
|
Kupat ‘ketupat’
|
:
|
Dimaksudkan
dengan mengku papat yaitu
persatuan, kesatuan, kesadaran dan kegotong royongan. Pada intinya dengan
adnaya kupat ini masyarakat pendukung upacara mengharapkan agar persatuan,
kesatuan, kesadaran dan kegotong royongan akan tetap terpelihara dan semakin
kuat. Kupat diisi dengan beras; kupat melambangkan raga, dan beras
melambang kan sukma.
|
Jalannya
Upacara
Pada
hari Senin Legi setelah sholat
Dhuzur, jodhang-jodhang yang berisi sesaji dari berbagai rukun tetangga di wilayah
Dusun Jalasutra dibawa berkumpul di lapangan Dusun Jalasutra. Setelah semuanya
siap kemudian secara bersama-sama jodhang-jodhang tersebut dibawa menuju ke tempat
upacara di makam Sentana. Arak-arakan jodhang menuju ke tempat
upacara diikuti oleh warga pendukungnya, dan diiringi dengan kesenian rakyat jathilan. Sesampainya di tempat upacara,
jodhang-jodhang ditata dengan rapi, sambil menunggu para tamu undangan dan
masyarakat lain yang akan mengikuti jalannya upacara Kupatan. Sementara itu sambil menunggu saat dimulainya puncak
upacara Kupatan dipergelarkan
kesenian jathilan.
Pukul
14.00 dimulailah pelaksanaan upacara Kupatan,
diawali dengan sambutan Kepala Desa Sri Mulyo yang berisi tentang maksud dan
tujuan dari upacara Kupatan ini,
sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rakhmat dan
karunia-Nya. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Muspika yang dalam hal
ini dilakukan oleh Camat Piyungan. Isi dari sambutan Camat pada intinya agar
upacara semacam ini tetap dilestarikan karena upacara tradisional ini merupakan
salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yang masih diperlukan keberadaannya
dan perlu dilestarikanna. Dengan berakhirnya sambutan dari Camat, selanjutnya
dilaksanakan inti upacara yaitu ngujubaken
‘mengikrarkan’ hajat masyarakat Jalasutra dan dilanjutkan dengan doa yang
dilakukan oleh juru kunci makam Sunan Geseng. Adapun isi ikrar tersebut
merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas rakhmat yang
telah dilimpahkan-Nya, sehingga warga masyarakat bisa memetik hasil
pertaniannya dengan baik. Selain itu juga memohon berkah agar di tahun-tahun yang akan datang mereka bisa memperoleh
hasil panen yang melimpah. Tidak lupa masyarakat Jalasutra mendoakan arwah para
leluhurnya terutama cikal bakal
mereka yaitu Sunan Geseng agar segala amal baiknya diterima disisi Tuhan.
Berikut ini kutipan ikrar yang disampaikan oleh juru kunci makam Sunan Geseng.
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Bapak-bapak,
ibu-ibu para anak kula sedaya, Kula namung sakdemi ngaturaken ingkang dados
kersanipun Bapak Lurah dalah para sedherek sedaya ing wilayah Jalasutra mriki.
Inggih menika, dinten menika panjenengan sami, sami ngedalaken sodakoh namung
sadermi ngladosaken rejekinipun Pangeran. Ingkang sakperlu kangge nglairaken
kesukuran kita sesarengan wonton ngarsanipun Allah SWT. Mugi-mugi sodakoh
ingkang panjenengan dolaken menika wau saestu Pangeran maringi ganjaran ingkang
sakmethinipun, saengga saking atur panuwun panjenengan sami ganjaranipun.
Sodakoh menika ingkang sapisan dipun kesusaken dhumateng junjungan kita Kanjeng
Nabi Muhammad SAW. Dene ingkang kaping kalih dipun kesusaken dhumateng
panjenengipun eyang Sunan Geseng ingkang sumare wonten pasereyan Sentana mriki.
Dene ingkang koping tiga dipun kususaken dhumateng para ahli leluhur
panjenengan piyambak-piyambak inggih leluhur ingkar saking kakung, saking
putri, ingkang wonten ing pasereyan wilayah Jalasutra, dumugi manca gangsal,
manca sekawan, manca tiga, sedaya ingkang dados leluhur panjenengan sami,
mugi-mugi sageda waradin sadaya. Ingkang para ahli leluhur menika wau,
mugi-mugi Pangeran paring pangapunten mbok bilih wonten tuni kalepatanipun
nalika gesang wonten ing alam praja. Ing salengipun, mugi-mugi kesukuran
panjenengan sedaya ngaturaken penuwun dhumateng Pangeran, awit anggenipun sami
among tani saged kaparingan hasil ingkang maremaken. Mugi-mugi Pangeran maringi
kecakepan kangge kabetahan gesagn panjenengan piyambak-piyambak dumigi sak
akiripun, ngantos dumugi panen malih. Para bapak, para ibu, para sedherek
sedaya, mekaten sambetan kanti singkat ingkang kita aturaken, mbok bilih wonten
kekirangan atur kula, ……… Mugi-mugi Pangeran ngijabahi menapa ingkang dados atur
panjenengan piyambak-piyambak…
Terjemahan
:
Assalamu’alaikum
warrahamatullahi wabarakatuh,
Bapak-bapak, ibu-ibu,
para anakku semuanya. Saya menyampaikan apa yang menjadi keinginan Bapak Lurah
dan saudara sekalian di wilayah Jalasutra ini. Yaitu, dihari ini saudara
sekalian, mengeluarkan sodakoh yang
merupakan pemberian Tuhan, yang tujuannya untuk mengucapkan syukur kehadapan
Allah SWT. Semoga dengan sodakoh ini
Tuhan memberi rakhmat dan karunianya sesuai dengan amal perbuatannya. Sodakoh
ini yang pertama dihaturkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang kedua
dihaturkan kepada Sunan Geseng yang dimakamkan di makam Sentana. Adapun yang ketiga dihaturkan kepada para leluhur saudara
sekalian, baik itu leluhur dari laki-laki maupun dari wanita yang dimakamkan di
wilayah Jalasutra, sampai manca gangsal,
manca sekawan, manca tiga, semua yang menjadi leluhur saudara sekalian,
semoga merata semuanya. Kepada para leluhur tadi, semoga Tuhan memberi ampunan
apabila ada kesalahan ketika masih hidup didunia. Selanjutnya, semoga ucapan
syukur saudara sekalian ini menjadikan dalam bertani mendapat hal yang baik.
Semoga Tuhan memberi karunia dalam kehidupan saudara sekalian, sampai panen
yang akan datang. Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara sekalian, demikianlah tadi
sambutan singkat yang saya sampaikan, apabila ada kekurangan dalam perkataan
saya, …… Semoga Tuhan mengabulkan semua yang menjadi kehendak saudara sekalian
…
Kemudian
dilanjutkan dengan doa yang intinya merupakan puji syukur dipanjatkan kepada
Tuhan dan memohon perlindungan, keselamatan dan nikmat yang telah diberikan-Nya
selama ini. Juga doa untuk para orang tua dan leluhur, baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal agar selalu diberi keselamatan dan ampun, sehingga
dalam hidup dan kematian selalu mendapat perlindungan-Nya.
Setelah
ikrar dan doa selesai dimulailah pembagian sesaji yang berupa nasi gurih dan lauk pauknya yang biasa
disebut dengan ambeng serta
hasil-hasil polowijo dan jajan pasar.
Masyarakat pendukung upacara yang sejak pagi dengan tenang dan sabar menanti
puncak upacara, kemudian beramai-ramai untuk mendapatkan ambeng dan sesaji lainnya, bahkan kadang kala untuk mendapatkannya
dilakukan dengan rebutan ‘berebut’.
Masyarakat pendukung upacara ini percaya dengan mendapatkan ambeng atau salah satu dari sesaji itu
akan mendapat berkah atau ngalap berkah, sehingga segala apa yang
diinginkannya akan terlaksana. Para pengikut upacara itu setelah mendapatkan
sesaji tersebut kemudian memakannya di tempat upacara, tetapi ada pula yang
dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarganya.
Masyarakat
pendukung upacara ini mempunyai kepercayaan apabila pada saat dilaksanakan
puncak upacara banyak pengunjung yang datang untuk mengikuti jalannya upacara,
hal ini sudah bisa dipakai sebagai lambang atau pertanda bahwa hasil
pertaniannya di masa yang akan datang akan semakin baik. Namun bila pada
pelaksanaan puncak upacara pengunjungnya sedikit, maka suatu pertanda bahwa
hasil panennya di masa datang akan sedikit berkurang dibanding tahun
sebelumnya.
Kurang
lebih pukul 16.00 para warga masyarakat Jalasutra dan pendukung upacara lainnya
meninggalkan tempat upacara dan kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan
lega, karena telah melaksanakan upacara atau hajat dengan selamat dan lancar.
Sesampainya di rumah masing-masing masyarakat Dusun Jalasutra masih melakukan
suatu kendhuri yagn dilaksanakan di
setiap rukun tetangga. Masing-masing keluarga membawa ambeng yang berupa nasi putih dan lauk pauknya, antara lain berupa
sayur yang dimasak pedas, bakmi goreng, tempe, tahu, rempeyek dan lain-lain,
yang dibawa dengan nampan atau panci menuju ke tempat kendhuri. Kendhuri dilaksanakan
di setiap rukun tetangga, ada yang bertempat di masjid dan ada pula yang
bertempat di rumah perangkat desa. Adapun maksud dari kendhuri ini merupakan ungkapan rasa syukur atas karunia dan
rakhmat Tuhan sehingga pelaksanaan upacara Kupatan
bisa berjalan dengan lancar dan selamat.
Pada
malam harinya sebagai kelanjutan ungkapan rasa syukur, masyarakat Jalasutra
mempergelarkan kesenian tradisional. Pertunjukkan kesenian ini biasanya berupa
wayang kulit semalam suntuk atau kethoprak,
dengan cerita yang masih berkaitan dengan pertanian ataupun suksesnya sebuah
kerajaan dengan seorang raja bijaksana. Dengan harapan dari cerita itu
masyarakat bisa mengambil Hikmatnya untuk diterapkan dalam kehidupannya.
Lima
hari setelah puncak upacara, diadakan selamatan berupa kendhuri, sebagai penutup rangkaian upacara Kupatan Jalasutra. Kendhuri diadakan di tiap-tiap rukun tetangga, kemudian setelah
selesai kendhuri di tiap-tiap rukun
tetanga, dilaksanakan kendhuri yang
bertempat di makam Prayan. Kendhuri
dimakam Prayan diikuti oleh uturan dari masing-masing rukun tetangga dengan
membawa nasi ambeng. Adapun tujuan kendhuri di makam Prayan yang disebut
dengan nyadran ngisor adalah untuk
menghormati leluhur yang dimakamkan di makam bagian bawah, selain makam Sunan
Geseng atau makam Sentana yang
letaknya di atas. Sedangkan puncak upacara yang bertempat di makam Sunan Geseng
disebut dengan nyadran dhuwur. Dengan
berakhirnya nyadran ngisor menandai
akhir dari seluruh rangkaian upacara Kupatan
Jalasutra.
Pantangan-pantangan
Dalam
setiap upacara tradisional biasanya terdapat suatu pantangan-pantangan yang
harus selalu dipatuhi. Apabila pantangan-pantangan ini dilanggar maka akan
terjadi sesuatu hal yang kurang baik pada desa setempat maupun menimpa warga
masyarakatnya.
Pada
upacara tradisional Kupatan Jalasutra
juga terdapat pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu hari
pelaksanaan upacara tidak diperkenankan mengambil hari selain hari Senin Legi. Hal ini disebabkan karena Senin Legi merupakan hari pada waktu Sunan
Geseng diangkat menjadi murid oleh Sunan Kalijaga, sehingga hari itu dianggap
hari yang baik untuk melaksanakan upacara Kupatan
Jalasutra tersebut, sesuai dengan maksud upacara yang antara lain mengucap
syukur pada Tuhan dan untuk menghormati leluhurnya atau cikal bakal Dusun Jalasutra. Perlu dikemukakan pula bahwa upacara Kupatan Jalasutra pernah dilaksanakan
dengan tidak mengambil hari Senin Legi,
diganti dengan Jumat Pon. Ternyata pelaksanaan upacara mengalami kegagalan.
Setelah peristiwa itu maka masyarakat Jalasutra tidak berani mengubah atau
mengalihkannya, sehingga setiap pelaksanaan upacara selalu jatuh pada hari
Senin Legi.
Daftar Pustaka
Sunjata, Wahjudi
Pantja dan Sri Retna Astuti. 1997. Kupatan
Jalasutra: Tradisi,makna, dan Simboliknya. Yogyokarta. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.